PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA
Pendahuluan
Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan
pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai
saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila
dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut
logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan
minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran
relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang
besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama
medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22
tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang
memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional
selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan
melahirkan 3 orang presiden.
Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan
bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut
dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti
dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang
tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa
Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga
menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar
di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan
kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam
sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando
yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi kebutuhan masyarakat
secara umum.
Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana
mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan
penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak
toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar
ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen
masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut
adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan
dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan
clean government.
Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer
kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan
diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie, dengan
membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk
mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi
dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman
Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah
Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum
yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai
warga bangsa. Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa
pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah masa transisi demokrasi di
Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan yang
dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif
demokratis.
Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan
panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak
dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai
gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu
oleh adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan
material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus
Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh
wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih
memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua
orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu
melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung
oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri.
Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega
tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara
langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis
dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah
para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah
disemaikan.
Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan
Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar
sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk
masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program
100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan
program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY
mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang melihatnya
sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang
melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.
Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa
Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya
benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi
yang sangat fundmental yakni kebebasan berpendapat dan
berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim
Soeharto dan rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun
dilarang, dalam waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang
notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie
patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya,
karena dalam situasi politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat
mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan mengantarkan Pemilu
dengan aman dan lancar.
Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta
telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik
kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu, kritik dari berbagai
kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk
perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta
munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan
mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas
rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk
mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi
lebih baik, maka Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan
menjadi Presiden.
Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak.
Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di balik pencalonan
tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus Dur hanya
menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada
Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat
pencalonan Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros
tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar
manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.
Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah
terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap dan menerima pencalonan
dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya ketika Fraksi
Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan
pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur
menerimanya secara terbuka.
Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan
dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati
untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan ketegangan di
masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung
calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan
datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi
tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih
menjadi Presiden.
Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik
dari pendukung kandidat Presiden Habibie dengan ancaman yang senada.
Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Ka’bah, masyarakat
wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap mati
demi mempertahankan Habibie.
Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan
karena siapapun yang terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah
perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa tersebut tidak
mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan
idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang
dianggap mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua
kepentingan di atas, menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian
benturan masa dapat dihindarkan.
Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia
yang membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi,
dan sikap arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini
tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan
membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan
masing-msaing kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang
bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa justru tidak terlihat
menjadi fokus perdebatan.
Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk
menyelesaikan dan manjawab masalah secara lansung. Dalam rangka
meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan
menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran
persoalan yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur
merasa dapat mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung,
mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.
Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam
perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya bukan Megawati atau
Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di balik kedua
kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya
melawan kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah
perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga
untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan
bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.
Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus
Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata
dianggap dapat menetralisir berbagai benturan kepentingan yang sedang
bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya kondisi
darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut
kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan
pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk tetap
bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi
pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis
kehidupan bangsa yang ada.
Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur
Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam
mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar
bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan
kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan
pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin
dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok
kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua
anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung
dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.
Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua
elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada
masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi
kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga
balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan
dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun
garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun
dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis
pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan
dari semua lini yang menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi
pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi
Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik.
Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih
ketika itu.
Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus
Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan
Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun
tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham,
namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa
di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk
mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila
dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait
dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat
dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah
yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak
anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat
simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.§
Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada
prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun
lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi
pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya
menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral
yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat
memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program
pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan
bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi
kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.
Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari
gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa
untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan manajemen konflik
dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti
menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan
alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam
pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal
mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih
parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat
pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin
menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan
dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari
pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya
dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan
antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.
Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur
dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros
tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur melakukan
manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah
faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran
manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar
pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif
dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan
mendapat simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul
ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang
harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam
money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa.
Namun amanah ini nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan
oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih
banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi lebih mengedepankan
arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah
“feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.
Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri,
sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika
dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi
maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap
seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai
landasan formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak
menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945
telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden.
Arogansi Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan
fakta-fakta perjalanan kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa
kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan dapat menimbulkan
permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen
yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.
Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan
mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh
sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga politik formal
maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan
kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang
paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan
para pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang
terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan
pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan
dibawa ke mana bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para
pembisiknya yang mempunyai kepentingan individual dan sesaat untuk
mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak orang
kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan
fasilitas yang ada.
Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur
yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN,
namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN yakni
kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan
menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping
skandal-skandal lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam
sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus
Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang
memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan Clean Government,
ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan Gus Dur justru
tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan
ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari
kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden
ternyata sangat bertolak belakang.
Analisis
Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan
mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama,
sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi
yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya.
Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi
partai-partai yang mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet
yang notabene partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen
bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya
dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang
ingin memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau
posisi-posisi tertentu. Ketiga, Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia
sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua komponen bangsa
terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda,
sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh
seluruh komponen bangsa yang ada.
Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur
tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang
dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional yang oleh
sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat
atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat
dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun
dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid
atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun
sanggahan atau kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap
tidak etis dan akan “kualat”.
Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau
karakter dasar pesantren selalu menyertainya. Bisa diperhatikan
manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping sikapnya yang
arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan
atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari
Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden
bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi
diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen
pesantren bahwa seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak
pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada sistem yang baku yang dijadikan
sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja kepemimpinannya.
Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang
sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas, orator, dan
propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan
manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam
kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien.
Padahal kunci utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu
bisa efesien dan efektif.