Minggu, 26 Mei 2013

Sholawat Gus Dur

Syi'ir Tanpo Waton
al-magfurlah KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur)



استغفر الله ربّ البرايا # استتغفر الله من الخطا يا
ربّي زدني علما نافعا # ووفّقني عملا صالحا

يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان و الدرج
عطفة يا جيرة العالم # يا أهَيل الجود والكرم

Ngawiti ingsun nglaras Syiiran
Kelawan muji marang Pangeran

Kang paring rahmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo pitungan


Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mong ngaji Syare'at bloko
Gur pinter ndongeng, nulis lan moco
Tembe mburine bakal sengsoro

Akeh kang apal Qur'an haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe gag di gatekke
Yen isih kotor ati akale

Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nisto

Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhite
Baguse sangu mulyo matine

Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma'rifate
Ugo hakikot manjing rasane

Al-Qur'an Qodim wahyu minulyo
Tanpo ditulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing njero dodo

Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu'jizat Rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman

Kelawan Allah kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali

Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran

Kelawan konco dulur lan tonggo
kang podo rukun ojo ngasio
Iku sunahe Rosul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kito

Ayo nglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat derajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate

Lamun palastro ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang Allah swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese

Download Mp3 Gusdur Tanpo Waton

Gus Dur Biography

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, known as Gus Dur was born in Jombang, East Java, on 7 September 1940 from the couple Wahid Hasyim and Solichah. He was born with the name Abdurrahman Addakhil or "the Conqueror", and then more fondly known as Gus Dur. Gus Dur is the first son of six children from a very respectable family in the Muslim community of East Java. Grandfather of his father is
K.H Asyari Hashim, the founder of Nahdlatul Ulama (NU), while his maternal grandfather,
KH Bisri Syansuri, is the first boarding school teacher who teaches a class on women. Gus Dur's father, K.H. Wahid Hasyim, was involved in the nationalist movement and became Minister of Religious Affairs in 1949. His mother, Mrs. Hj. Sholehah, is the daughter of the founder of Pondok Pesantren in Jombang Denanyar. In addition to Gus Dur, his brother Gus Dur is also a figure of national leaders At the time of his father diangkan became Minister of Religion, Gus Dur join move to Jakarta and went to primary school before moving to SD KRIS Matraman Perwari. His education continued in 1954 at Junior High School and not the next grade, but not because of intellectual problems. His mother then sent to Yogyakarta to continue their education. In 1957, after graduating from junior high school, he moved to Magelang to study at boarding school Tegalrejo. He developed a reputation as a gifted pupil, graduated from boarding school within two years (should be four years). In 1959, Gus Dur Tambakberas moved to boarding school in Jombang and get his first job as a teacher and head of the madrassa. Gus Dur is also a journalist and magazine Horizon Culture Jaya. In 1963, Wahid received a scholarship from the Ministry of Religious Affairs to study at Al Azhar University, Cairo, Egypt, but did not finish due to the criticality of his mind. Gus Dur and then studied at the University of Baghdad. Although initially neglected, Gus Dur can finish his education at the University of Baghdad in 1970. He went to Holland to continue his education, to study at the University of Leiden, but disappointed that his education in Baghdad under-recognized here. Gus Dur and then went to Germany and France before returning to Indonesia in 1971. Abdurrahman returned to Jakarta and joined the Institute for Research, Education and Economic and Social Affairs (LP3ES), an organization which consists of a progressive Muslim intellectuals and social democrats. In January 1998, Gus Dur was attacked stroke and was rescued by a team of doctors. However, as a result of health condition and the vision the President to-4 is deteriorating. In addition to its stroke, his health problems allegedly caused by hereditary factors also caused a close blood relationship between her parents. In the early 1980s, Gus Dur plunge care of Nahdlatul Ulama (NU) after three times ditawarin by his grandfather. In recent years, Gus Dur NU managed to reform the body so as to make his name more and more popular among NU. At the National Congress of 1984, Gus Dur was asked as Chairman of the NU. During his first term, Gus Dur focus in reforming the educational system succeeded in improving the quality of schools and boarding school education system so that it can compete with secular schools. And finally on December 30, 2009, Gus Dur died of illness complications and was buried in Jombang, East Java. Congratulations Gus Way, may appear Gus Gus Dur Dur-bari capable of thrilling the world. Amen

Presiden Gus Dur

Kalau diamati, era Kepresidenan Indonesia di masa Gus Dur yang usianya kurang dua tahun telah melakukan banyak hal untuk Indonesia yang tengah melangkah memasuki era baru, baik di bidang politik, demokrasi dan HAM juga ekonomi.Namun pertarungan antara Gus Dur dan lawan-lawan politiknya lebih seru daripada menyimak pretasi-prestasi yang telah dicatatkan itu.
Sebagaimana dicatat Rakyat Merdeka Online, ia adalah kuda hitam di arena pemilihan presiden yang digelar MPR bulan Oktober 1999. Ini adalah pemilihan presiden pertama yang digelar setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang.
Adalah Megawati Soekarnoputri yang awalnya diperkirakan akan bertarung dengan BJ Habibie dalam pemilihan presiden setelah dalam Pemilu 1999 PDI Perjuangan yang dipimpinnya menang dengan 33 persen suara dan mengalahkan Golkar yang bertengger di tempat kedua dengan 22 persen suara. Memasuki Juli 1999, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais membentuk Poros Tengah yang merupakan aliansi partai-partai umat Islam bersama dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang ketika itu dipimpin Hamzah Haz dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra. Adapun PKB dan Gus Dur ketika itu masih berada satu kubu dengan PDIP. Gus Dur dan Mega memang memiliki hubungan yang terbilang baik dan keduanya teman seperjuangan saat melawan rezim Orde Baru.
Bulan Oktober 1999 peta politik mulai berubah. Partai Golkar mulai memperlihatkan tanda-tanda menarik dukungan dari BJ Habibie. Ini artinya, peluang Megawati menjadi presiden terbuka semakin lebar. Di saat bersamaan, Gus Dur sudah mulai main mata dengan Poros Tengah. PKB dan Gus Dur mendukung Amien Rais yang hanya memiliki kekuatan 7 persen di DPR untuk menjadi Ketua MPR. Dukungan Gus Dur ini dibayar kontan oleh Amien. Tanggal 7 Oktober Amien Rais dan Poros Tengah mulai mengumumkan dukungan mereka untuk Gus Dur sebagai presiden. Tak lama, 19 Oktober MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie. Kekuatan Poros Tengah plus Golkar pun akhirnya memenangkan pemilihan presiden. Dalam pemilihan presiden itu Gus Dur meraih 373 suara, mengalahkan Mega yang memperoleh 313 suara.
Kekalahan Mega memicu kemarahan pendukung PDIP di banyak kota di Indonesia. Untuk menghentikan kemarahan ini, tidak ada cara lain, Mega harus jadi orang kedua di republik. Wiranto yang tadinya ingin bertarung untu memperebutkan kursi wapres diyakinkan agar mundur. Selanjutnya, dalam pemilihan wapres, Mega menang mudah menghadapi Hamzah Haz.
Pemerintahan Gus Dur memang dilahirkan dari fragmentasi politik yang begitu kuat. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan pemerintahannya kecuali menciptakan kabinet pelangi dan menamakannya Kabinet Persatuan Nasional.
Dalam perjalanannya kabinet ini mengalami begitu banyak hambatan. Mengalami beberapa kali perombakan sampai akhirnya bubar di Juli 2001, menyusul perpecahan duet Gus Dur dan Mega.
Ketika dibentuk pertama kali, Kabinet Persatuan Nasional terdiri dari:
Menko Polkam Jenderal Wiranto
Menko Ekuin Kwik Kian Gie
Menko Kesra Hamzah Haz
Menteri Dalam Negeri Letjen Suryadi Sudirja
Menteri Luar Negeri Alwi Shihab
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono
Menteri Hukum dan Perundangan Yusril Ihza Mahendra
Menteri Keuangan Bambang Sudibyo
Menteri Pertambangan dan Energi Letjen Susilo Bambang Yudhoyono
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla
Menteri Pertanian M. Prakosa
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi Ismail
Menteri Transportasi Letjen Agum Gumelar
Menteri Kelautan Sarwono Kusumaatmaja
Menteri Tenaga Kerja Bomer Pasaribu
Menteri Kesehatan Achmad Sujudi
Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin
Menteri Agama Tolchah Hasan
Menteri Pemukiman dan Pembangunan Daerah Erna Witoelar
Menteri Negara Riset dan Teknologi AS Hikam
Menteri Negara Koperasi dan UKM Zarkasih Nur
Menteri Negara Lingkungan Hidup Soni Keraf
Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid
Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Hidayat Jaelani
Menteri Negara Investasi dan BUMN Laksamana Sukardi
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kofifah Indar Parawansa
Menteri Negara Perkejaan Umum Rafig Budiro Sucipto
Menteri Negara HAM Hasballah M. Saad
Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan Al Hilal Hamdi
Menteri Negara Reformasi Administrasi Freddy Numberi
Menteri Negara Urusan Umum AA Gde Agung
Panglima TNI Laksamana Widodo AS
Jaksa Agung Marzuki Darusman
Sekretarus Negara Ali Rahman
Sebulan kemudian, 26 November 19999, Hamzah Haz mengundurkan diri dan digantikan oleh Basri Hasanuddin sebagai Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan. Tanggal 4 Januari 2000 giliran Ali Rahman mengundurkan diri dan diganti oleh Bondan Gunawan. Sebulan kemudian, Wiranto digantikan oleh Suryadi Sudirja yang merangkap jabatan sebagai Mendagri. Tanggal 24 April 2000 Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi terpental dari kabinet. Masing-masing digantikan oleh Luhut Panjaitan dan Rozi Munir. Tanggal 29 Mei 2000, Bondan Gunawan yang baru bertugas selama empat bulan keluar. Dia digantikan oleh Djohan Effendi.
Setelah agak tenang selama tiga bulan, tanggal 10 Agustus 2000 Kwik Kian Gie mengundurkan diri dari posisi Menko Ekuin.
Setelah pengunduran diri Kwik Kian Gie, barulah Gus Dur secara resmi merombak kabinetnya. Tanggal 23 Agustus 2000 Gus Dur mengumumkan perubahan susunan kabinet. Beberapa nama baru masuk, dan beberapa kementerian digabungkan.
Menko Polkam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono
Menko Ekuin Rizal Ramli
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Letjen Suyardi Sudirja
Menteri Luar Negeri Alwi Shihab
Menteri Pertahanan Mahfud MD
Menteri Keuangan Priyadi Prapto Suhardjo
Menteri Agama Tolchah Hasan
Menteri Pertanian dan Kehutanan Bungaran Saragih
Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Achmad Sujudi
Menteri Transportasi dan Komunikasi Letjen Agum Gumelar
Menteri Tenaga Kerja Al Hilal Hamdi
Menteri Industri dan Perdagangan Luhut Panjaitan
Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Purnomo Yusgiantoro
Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
Menteri Pemukiman dan Pembangunan Daerah Erna Witoelar
Menteri Budaya dan Pariwisata I Gde Ardika
Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmaja
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN Khofifar Indah Parawansa
Menteri Negara Reformasi Administrasi Ryaas Rasyid
Menteri Negara Koperasi dan UKM Zarkasih Nur
Menteri Negara Lingkungan Hidup Soni Keraf
Menteri Negara Riset dan Teknologi AS Hikam
Menteri Muda Kehutanan Nurmahmudi Ismail
Menteri Muda Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo
Menteri Muda Restrukturisasi Perekonomian Nasional Cacuk Sudarijanto
Panglima TNI Laksamana Widodo AS
Jaksa Agung Marzuki Darusman
Kabinet hasil reshuffle pertama ini pun tidak bertahan lama. Pada tanggal 3 Januari 2001 Ryass Rasyid mengundurkan diri dan tidak pernah digantikan. Sebulan kemudian, 7 Februari giliran Yusril Ihza Mahendra yang mengundurkan diri dan digantikan Baharuddin Lopa. Sebulan kemudian, 15 Maret 2001 Nurmahmudi Ismail digantikan dengan Marzuki Usman.
Tanggal 1 Juni 2001 Gus Dur kembali mengocok ulang kabinetnya menyusul konflik politik yang semakin keras dengan lawan-lawannya di parlemen.
Agum Gumelar menggantikan SBY sebagai Menko Polkam. Lalu Budi Mulyawan S ditunjuk sebagai Menteri Transportasi dan Komunikasi yang ditinggalkan Agum. Jaksa Agung Marzuki Darusman pun digantikan dengan Baharuddin Lopa. Sementara Marsillam Simanjuntak ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM. Sarwono Kusumaatmaja digantikan Rohmin Dauri sebagai Menteri Negara Kelautan dan Perikanan. Adapun Posisi Menteri Muda Restrukturisasi Ekonomi Nasional dibubuarkan.
Hanya bertahan kurang dari dua minggu. Pada 12 Juni 2001 Gus Dur kembali mengumumkan perubahan kabinet. Kali ini Rizal Ramli menggantikan Prijadi Prapto Suhardjo sebagai Menteri Keuangan. Adapun Burhanuddin Abdullah kemudian masuk untuk menempati posisi Menko Ekuin yang ditinggalkan Rizal. Anwar Supriyadi ditunjuk sebagai Menteri Negara Reformasi Administrasi. Menyusul perubahan ketiga ini, tanggal 5 Juli 2001 Marzuki Darusman ditunjuk sebagai Sekeretaris Kabinet.
Tanggal 10 Juli 2001 Gus Dur mengumumkan kocok ulang keempat setelah Baharuddin Lopa meninggal dunia. Sebagai pengganti Lopa, Gus Dur menunjuk Marsillam Simanjuntak. Adapunb Mahfud MD ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM. Adapun Agum memegang dua posisi penting, Menko Polkam dan Menteri Pertahanan.
Kurang dari dua minggu setelah itu, Gus Dur benar-benar jatuh. Kelompok yang hampir dua tahun sebelumnya mendukungnya, berbalik arah.

Masa Pemerintahan Gus Dur

PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA



Pendahuluan

Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden.

Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.

Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.

Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.

Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.

Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa

Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.

Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.

Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.

Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.

Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.

Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap mati demi mempertahankan Habibie.

Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.

Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.

Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.

Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.

Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa yang ada.

Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur

Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.

Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.

Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.§

Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.

Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.

Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.

Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.

Analisis

Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya. Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga, Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda, sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa yang ada.

Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.

Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja kepemimpinannya.

Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.

Makam Gus Dur

Keajaiban dari Makam Gus Dur - Gus Dur selalu jadi sumber berita. Bahkan hingga Gus Dur wafatpun ia masih menjadi sumber informasi. Berikut ini kisah yang dituturkan Keluarga Ciganjur kepada Beritasatu.com. Sejak wafat dan dimakamkan di Tebuireng, makam Gus Dur selalu ramai dikunjungi peziarah. Di atas tanah merah itu aneka kembang tak pernah layu. Kembang selalu baru mengiringi peziarah yang bergonta-ganti.


Pemakaman Gus Dur belum genap tujuh hari, saat satu hari datang rombongan peziarah dari Semarang. Saat sore bakda Ashar rombongan hendak pulang, tiba-tiba dikagetkan oleh berita bahwa ada satu orang anggota yang belum kembali. Akhirnya ketua rombongan mendatangi tempat tinggal keluarga Gus Dur di kompleks Pesantren Tebuireng dan melaporkan kejadian tersebut.

Oleh keluarga Gus Dur disarankan untuk diumumkan saja melalui speaker masjid Tebuireng. Kira-kira dua jam kemudian setelah sholat Maghrib, ketua rombongan mendapat telepon dari Polsek di Semarang yang mengabarkan kalau orang yang dicari sudah kembali. Rupanya pria yang dicari itu mencari kantor polisi untuk minta disambungkan ke kepala rombongan.

Keluarga Gus Dur kemudian dilapori kalau yang dicari sudah ketemu, malah sudah di Semarang. Awalnya ia tak sadar apa yang terjadi. Lalu disuruhlah ketua rombongan menghubungi kembali pria yang hilang itu. Dari mulut pria itu didapat ceritera kalau dia nebeng rombongan para habib yang naik bis yang melewati Semarang.

Pria yang dicari itu menceritakan kronologisnya: masuk ke area makam Gus Dur, lalu duduk di sebelah para habib bersorban putih. "Saya ikut mengaji. Tapi saat pulang saya lihat tidak ketemu rombongan. Jadi akhirnya saya ikut rombongan yang pakai sorban putih itu dan turun di Semarang," kata pria yang sempat hilang itu.

Setelah mendengar cerita itu barulah rombongan yang berkumpul bersama salah seorang anggota keluarga Gus Dur sadar kalau ada yang tidak lazim. Bagaimana bisa jarak Jombang-Semarang yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu paling cepat 6 jam hanya dilalui oleh rombongan itu cuma sekitar 2 jam saja. Hilang bakda Ashar dan ditemukan di Semarang saat Maghrib tiba.

Ayam Dari Makam Gus Dur Laku Rp7,5 Juta
Lain lagi cerita tentang seekor ayam yang masuk ke makam Gus Dur. Satu waktu makam dipenuhi peziarah. Di tengah khusuknya berdoa tiba-tiba ada ayam bisa masuk ke area makam yang penuh sesak oleh lautan manusia. Ayam itu mungkin tersesat hingga sampai di makam Gus Dur.

Sontak saja ayam itu jadi perhatian banyak orang. Orang berebut menangkapnya. Setelah salah seorang berhasil menangkap ayam tersebut, si pemilik ayam dihubungi. Penangkap ayam tersebut rupanya bermaksud membeli ayam tersebut. "Itu ayam barokah karena bukan sembarang ayam bisa lolos melewati ribuan orang sampai di makam Gus Dur," kata orang yang bermaksud membeli. Maka setelah terjadi tawar menawar ayam itu laku seharga Rp7,5 juta.

Ngalap berkah dari Gus Dur juga terjadi sesaat setelah jenazah Gus Dur dimandikan. Tiba-tiba ada seorang yang mengaku pengusaha dari Jawa Timur datang menemui keluarga Gus Dur. Ia bermaksud membeli papan dan aneka alat yang dipergunakan untuk memandikan Gus Dur. Pembeli ini ngotot membeli dan mengajukan tawaran harga awal sebesar Rp5 Juta.

Melihat gelagat keluarga Gus Dur tak ada tanda-tanda melepasnya, ia menaikkan tawaran hingga Rp15 juta. Lalu naik lagi Rp25 Juta dan terakhir Rp50 Juta. Tapi keluarga Gus Dur sudah keukeuh tak akan menjual papan dan aneka perkakas yang dipakai untuk memandikan Gus Dur. "Bayangkan kalau papan, bambu, gayung itu terus dipotong-potong dan direndam di air lalu airnya diperjualbelikan itu kan syirik," kata keluarga inti Gus Dur. Maka untuk menghindari serbuan peminat pemberli serupa, keluarga Gus Dur bergegas mengandangkan papan dan perkakas memandikan jenazah Gus Dur ke dalam gudang dan menguncinya rapat-rapat.

Ada-ada saja orang mau mengejar berkah hingga tidak rasional. Berkah itu karena melaksanakan amalan yang diajarkan kiai bukan dari satu dua barang.

Sumber: Keajaiban dari Makam Gus Dur - Yafi Blog http://yafi20.blogspot.com/2012/07/keajaiban-dari-makam-gus-dur.html#ixzz2URlBaa2i

Gus Dur Biografi

BIODATA GUS DUR

ABDURRAHMAN WAHID
DATA PRIBADI
Kewarganegaran
:
Indonesia
Tempat, Tanggal Lahir
:
Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940
Istri
:
Sinta Nuriyah
Anak
:
1. Alissa Qotrunnada Munawaroh (P)
2. Zannuba Arifah Chafsoh (P)
3. Annita Hayatunnufus (P)
4. Inayah Wulandari (P)
Alamat Rumah
:
Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur
Jakarta Selatan 12630 - Indonesia
PENDIDIKAN
1966-1970
:
Universitas Baghdad, Irak
Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
1964-1966
:
Al Azhar University, Cairo, Mesir
Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
1959-1963
:
Pesantren Tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur, Indonesia
1957-1959
:
Pesantren Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia
JABATAN
1998-Sekarang
:
Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
2000-Sekarang
:
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Indonesia
2002-Sekarang
:
Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur
2004-Sekarang
:
Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
PENGALAMAN JABATAN
1999-2001
:
Presiden Republik Indonesia
1989-1993
:
Anggota MPR RI
1987-1992
:
Ketua Majelis Ulama Indonesia
1984-2000
:
Ketua Dewan Tanfidz PBNU
1980-1984
:
Katib Awwal PBNU
1974-1980
:
Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
1972-1974
:
Dekan dan Dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang
PENGALAMAN ORGANISASI
2003
:
Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional
Penasehat
2002
:
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
Penasehat
1990
:
Forum Demokrasi
Pendiri dan Anggota
1986-1987
:
Festifal Film Indonesia
Juri
1982-1985
:
Dewan Kesenian Jakarta
Ketua Umum
1965
:
Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo –
United Arab Republic (Mesir)
Wakil Ketua
AKTIVITAS INTERNASIONAL
2003-Sekarang
:
Non Violence Peace Movement,
Seoul, Korea Selatan
Presiden
:
International Strategic Dialogue Center,
Universitas Netanya, Israel
Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt
:
International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris
Presiden Kehormatan
2002-Sekarang
:
International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
Anggota Dewan Penasehat Internasional
2002
:
Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat
Presiden
1994-Sekarang
:
Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel
Pendiri dan Anggota
1994-1998
:
World Conference on Religion and Peace (WCRP),
New York, Amerika Serikat
Presiden
1994
:
International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda
Penasehat
1980-1983
:
The Aga Khan Award for Islamic Architecture
Anggota Dewan Juri
PENGHARGAAN
2004
:
Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
:
The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
2003
:
Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
:
World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
:
Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
2002
:
Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Jakarta, Indonesia.
:
Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
2001
:
Public Service Award, Universitas Columbia ,
New York , Amerika Serikat
2000
:
Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP),
New York, Amerika Serikat
:
Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
1998
:
Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
1993
:
Magsaysay Award, Manila , Filipina
1991
:
Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
1990
:
Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
DOKTOR KEHORMATAN
2003
:
Netanya University , Israel
:
Konkuk University, Seoul, South Korea
:
Sun Moon University, Seoul, South Korea
2002
:
Soka Gakkai University, Tokyo, Japan
2001
:
Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
2000
:
Thammasat University, Bangkok, Thailand
:
Pantheon Sorborne University, Paris, France
1999
:
Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
HOBI
:
Mendengarkan dan menyaksikan pagelaran Wayang Kulit.
:
Mendengarkan musik, terutama lagu-lagu karya Beethoven berjudul Symphony No. 9 th, Mozart dalam 20 th piano concerto, Umm Khulsum dari Mesir, Janis Joplin dan penyanyi balada Ebiet G. Ade.
:
Mengamati pertandingan sepak bola, terutama liga Amerika latin dan liga Eropa.
:
Mendengarkan audio book, terutama mengenai sejarah dan biografi.
Abdurrahman Wahid telah menghasilkan beberapa buah buku. Hingga saat ini dia terus menulis kolom di sejumlah surat kabar. Selain itu, dia masih aktif memberikan ceramah kepada publik di dalam maupun luar negeri.

sumber: www.gusdur.net

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...